Beranda | Artikel
Hukum Nyanyian Menurut Sufi
Senin, 6 Maret 2023

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Hukum Nyanyian Menurut Sufi ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 7 Sya’ban 1444 H / 27 Februari 2023 M.

Kajian Tentang Hukum Nyanyian Menurut Sufi

Sebelumnya kita sudah menjelaskan bahwa menurut para ulama mazhab yang empat (mulai dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad) bahwa nyanyian, musik, senandung, qasidah ataupun sejenisnya ini adalah perkara yang diharamkan/dilarang. Demikian pula kita sudah menyebutkan penukilan dari Ibnul Jauzi yang merangkum beberapa dalil-dalil dari Al-Qur’an dan juga As-Sunnah serta juga dari logika atas haramnya musik, lagu dan nyanyian.

Lalu bagaimana dengan kaum sufi?

Sekelompok kaum sufi yakin bahwa nyanyian yang haram menurut pendapat sekelompok fuqaha dan dimakruhkan menurut fuqaha lain justru termasuk perkara yang dianjurkan bagi suatu kaum.

Abu Ali Ad-Daqqaq menerangkan: “Nyanyian haram bagi orang-orang awam untuk menjaga keberlangsungan jiwa mereka. Akan tetapi mengubah bagi orang-orang zuhud untuk memudahkan dalam mendapatkan mujahadah. Dan ia perkara yang dianjurkan bagi rekan-rekan kami (yaitu kaum sufi) demi menjaga kehidupan hati mereka.”

Ini pandangan Abu Ali Ad-Daqqaq terhadap musik, lagu dan nyanyian. Ia mengatakan bahwa nyanyian itu haram bagi orang-orang awam. Seperti pandangan mereka juga tentang derajat manusia. Ada yang derajatnya syariat, makrifat dan hakikat. Ini hukumnya berbeda. Bagi orang-orang yang tingkatannya syariat (orang-orang awam) nyanyian itu haram. Tapi yang sudah sampai ke derajat hakikat dan makrifat, nyanyian itu bisa jadi mubah bahkan dianjurkan.

Ibnul Jauzi membantah pernyataan ini dengan mengatakan: Pernyataan ini keliru dengan lima alasan.

Pertama, sebagaimana yang telah kami riwayatkan dari Abu Hamid Al-Ghazali bahwa mendengar nyanyian boleh bagi siapa saja. Dan wawasan Abu Hamid jauh lebih luas daripada Ad-Daqqaq.

Kedua, tabiat jiwa manusia tidak berubah, dan hanya mujahadah yang dapat mengendalikan gejolaknya. Maka siapa saja yang mengaku tabiatnya berubah berarti ia telah mengakui sesuatu yang mustahil. Tatkala ada sesuatu yang menggerakkan tabiat dan kendalinya menjadi lepas, maka kebiasaan kembali kepada seperti sediakala.

Ketiga, para ulama tidak sepaham terkait haram atau mubahnya nyanyian. Tidak seorangpun dari mereka yang menjadikan pendengar sebagai pertimbangan dalam menentukan hukumnya. Sebab mereka tahu kesamaan asli umat manusia. Baik itu katanya tingkatan syariat (awam) atau hakikat atau ma’rifat. Itu pembagian yang sebenarnya bermasalah. Karena manusia pada hakikatnya sama. Apalagi hal-hal yang bisa mengotori jiwa. Kalau demikian adanya maka tentunya Nabi dan para sahabat-sahabat yang terdekat membolehkan bagi mereka apa yang tidak boleh bagi orang-orang awam seperti arab-arab Baduy dan sejenisnya. Karena mereka tingkatannya lebih tinggi, tapi mereka justru adalah orang yang paling menjauhi hal-hal yang bisa merusak hati.

Kalaulah orang yang sudah tinggi tingkatannya menjadi boleh terhadap hal-hal yang diharamkan, maka tentunya tidak ada tingkatan kezuhudan/keshalihan/ketakwaaan yang lebih tinggi daripada Nabi dan para sahabat. Tapi mereka justru adalah orang-orang yang paling menjauhi hal-hal yang bisa merusak hati.

Keempat, ijma’ mengungkapkan bahwa nyanyian tidak dianjurkan, melainkan intinya hanya membolehkannya dengan catatan-catatan dan syarat-syarat yang sudah kita jelaskan. Misalkan tanpa diiringi alat musik, syair-syair yang disenandungkan itu adalah hal-hal yang positif, tidak mendominasi hati, tidak melebihkannya daripada mendengarkan Al-Qur’an. Selain itu jelas para ulama melarangnya bahkan mengharamkannya.

Jadi pernyataan bahwasanya nyanyian dianjurkan adalah pernyataan yang menyimpang dari ijma’.

Kelima, konsekuensi pernyataan tersebut adalah bahwa mendengar kecapi hukumnya mubah atau dianjurkan bagi orang yang tabiatnya tidak berubah karena mendengarkannya. Ini dipakai oleh sebagian orang, dia mendengarkan musik, lagu dan nyanyian karena dia merasa dirinya tidak terpengaruh apa-apa dengan apa yang didengar dan disimaknya. Karena kata mereka musik hanya diharamkan jika dapat mempengaruhi jiwa serta menyuruh tabiat manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Jika pengaruh ini bisa dihindari maka hukumnya mubah. Ini jelas satu yang keliru dan tidak bisa diterima secara logika.

Para ulama menjelaskan bahwa hukumnya itu tidak berkaitan dengan orang yang mendengar nyanyian. Karena para ulama menganggap sama saja, siapapun yang mendengarnya bisa terpengaruh jiwanya. Jadi tidak dikaitkan dengan orang yang mendengar, tapi berkaitan dengan apa yang disenandungkan dan cara untuk menyandungkannya. Para ulama menilai hukum di dalam bab ini dari hal-hal tersebut, bukan dari kondisi orang yang mendengarkannya.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/52768-hukum-nyanyian-menurut-sufi/